Rencana Tuhan


Hari ini pelajaran English Conversation, minggu ketiga aku masuk di sekolah ini. Karena minggu-minggu sebelumnya adalah minggu bebas dengan banyak acara lomba memperingati ulang tahun sekolah, hari ini adalah pelajaran pertama kami.

Aku Hasna, siswi kelas X IPA 7. Cewek yang labil, dan plin-plan. Aku benci sifatku itu, seringkali itu membuatku frustasi karena keputusanku yang kerap tak konsisten. Seperti saat itu. Hmm, iya seperti saat itu.

Seorang Guru masuk ke kelas kami dan membuyarkan lamunanku, “Morning Class”

“Morning” seisi kelas menjawab dengan semangat. Kecuali aku. 

“Hi class. Saya Mister Good” orang ini bercanda, jelas. Semua penjuru kelas bergeming. Beliau terbahak, “Saya Bagus Triyono, but karena saya teach English, so you can call me Mister”

Teman-temanku tertawa dan bertepuk tangan. Aku masih saja tak bersemangat. Beliau pun menulis perintah di papan tulis, isinya menyuruh kami maju ke depan untuk menyampaikan kesan pesan kami masuk sekolah ini, tentunya dengan bahasa Inggris.

“Anyone please come forward..” 

Taka da satu pun anak yang terlihat akan maju. “Na, bahasa inggrisnya ‘saya sangat bahagia dan bersemangat’ apa?” tanya Lisa.

“Umm, I’m so happy and excited” jawabku malas.

“Gak maju, Na?” tawarnya.

“Ntar aja deh” jawabku asal.

Mengetahui tak ada satu pun yang maju, Mister Bagus pun meminta daftar nama. Pasti akan dipanggil. “Miss Adora come forward please”

Tera pun maju, dan menceritakan betapa dia bahagia masuk ke sekolah kami. Sudah kutebak sih. 3 anak yang maju berikutnya pun sama. Mereka memang terlihat sangat puas bisa masuk sekolah ini. Bagaimana denganku? Hemm, aku?

“Miss Salsabila would you give your short speech?” kudengar Mister Bagus menyebut nama belakangku. Aku terkejut dan maju dengan gontai. Mungkin aku harus berbohong.

“Hi I’m Hasna Salsabila. My feelings to be here is excited..” aku menghela napas. Aku malas memperpanjang ceritaku, lebih baik aku berbohong saja. “.. um and I’m so happy being a part of this school. This is awesome. I feel I could become a better person here, amin. That’s all from me. Thank’s a lot”

Mister Bagus memandangiku lama, “What’s the matter Miss Salsabila? You are not looked as an excited student. Are you okay?” Mister Bagus menyadari kegontaianku. Gawat. 

“Im okay Mister, maybe just need a little rest”

“okay, you may sit”

Akhirnya aku duduk. Sebenarnya aku tak benar-benar senang masuk di sekolah ini. Tapi. Hum, aku akan ceritakan semuanya.


Berawal dari lulus SMP, aku tidak pernah berpikir sedikit pun untuk melanjutkan di kota kelahiranku ini. Di pikiranku hanya ada ‘pergi dari kota ini’. Sejak sebelum UN pun aku sudah mencari tujuan sekolah yang bagus untuk kutuju.

Aku menemukan banyak SMA negeri yang bagus di luar kota. Sayangnya, orantua-ku tak mengijinkan bila aku tinggal sendiri di luar kota dengan ngekos. Mereka setuju aku di luar kota jika aku masuk pesantren, atau sekolah di asrama.

Aku tau apa alasan mereka tak mengijinkanku ngekos. Aku ini bandel, susah diatur. Aku sadar kok, jadi aku menerima saja. Toh aku juga ingin merasakan bagaimana hidup sendiri walaupun di pesantren. 

Akhirnya, setelah lama mencari di internet, aku menemukan sekolah yang kualitasnya sudah terbukti di Indonesia. MAN Insan Cendekia Serpong, itu namanya. Sepupuku ada yang berhasil masuk disana. Aku juga ingin masuk sana.

“Yah, aku daftar di MAN IC Serpong ya?” aku bertanya pada ayahku.

“IC yang sekolahnya kak Ferdi itu dulu?”

“iya yah, sekolahnya bagus. Ada asramanya, katanya UN kemaren dapet peringkat 2 se Indonesia buat rata-rata tertinggi, Yah. Keren kan? Lulusannya juga hampir semua masuk di PTN ternama, malah ada yang di luar negeri lho. Keren kan!” aku berpromosi. Hari Sabtu itu mumpung Ayahku sedang pulang. Biasanya Ayah bekerja di Jakarta dan hanya pulang Sabtu-Minggu saja.

“boleh juga tuh. Ya kamu daftar sendiri bisa kan?”

“Iya, Yah. Daftarnya online kok”

Aku mendaftar dari bulan April. Berkas yang diperlukan hanya perlu di-scan dan di upload di web IC. Sunggguh praktis. Aku hanya tinggal menunggu pengumuman seleksi berkas.

Aku lulus seleksi berkas, Alhamdulillah. Katanya, pendaftar di IC dari seluruh Indonesia ada 3000 orang, padahal yang diterima hanya 300. Aku sempat minder sekali. 

Menurut jadwal, akan ada test tulis yang akan  dilaksanakan pada bulan Mei. Aku tak sabra menunggu. Karena aku sudah selesai UN, aku libur panjang. 

“Na, walaupun sudah selesai, kamu masih harus belajar untuk test masuk IC lho. Itu kan sekolah ternama, pasti sainganmu banyak. Apalagi ada Bahasa Arabnya” ibuku mengingatkan itu setiap hari. Tapi, aku malas sekali untuk belajar. Yang aku lakukan hanya main game dan internetan.

Aku terlalu optimis, aku tak memikirkan bagaimana jika aku tidak diterima di IC. 

“Besok daftar SMAIT Nur Hidayah ya, Na. Sama kakung, buat cadangan kalau gak diterima di IC” ayahku menyuruhku ikut test masuk sebuat boarding school di Solo. 

Di Solo, aku diantar kakungku, karena hari itu ada juga tes wawancara. Dan yang wawancara bukan hanya calon muridnya saja, tapi juga calon wali murid. Berhubung ayah dan ibuku sibuk dan tidak bisa mengantarku, jadilah kakungku yang akan wawancara.

Di Solo aku hanya diam dan dudul di teras Mushola. Aku benar-benar tak punya teman disini. Setelah akan test, aku bertemu dengan seorang gadis. Tingginya kira-kira sama denganku, tapi dia lebih berisi. Dia juga berkacamata.

Namanya Nisa, dia dari Muhammadiyah Boarding School Jogja. Walaupun pertama tadi saat bertemu dia terlihat diam, tapi ternyata Nisa itu sangat cerewet. Tapi tak tahu kenapa, meskipun dia banyak omong, tapi aja saja yang diceritakan selalu jadi seru dan asyik. Kami pun bertukar nomor ponsel.

Ketika test tulis, untunglah aku bisa mengerjakan hampir semua pertanyaan walaupun aku tidak belajar samasekali. Tapi, pada soal Bahasa Arab, taka da satu pun soal yang bisa kukerjakan. Gawat. Di SMP-ku yang notabene adalah SMP Negeri, tidak ada pelajaran Bahasa Arab.

Aku pun hanya pasrah dan mengisi pertanyaan Bahasa Arab itu dengan jawaban B. Semua kuisi B, aku hanya bisa berdoa dan pasrah saja. 

“Hasna, kamu hafal berapa juz?” tanya Nisa di saat break akan test wawancara.

“Em, emangnya nanti itu ditanyain ya?” aku balik bertanya

“Katanya sih iya, kamu hafal berapa juz, Na?” dia mengulangi pertanyaannya.

“Aku sih baru Juz Amma, itu pun mungkin ada yang lupa” 

“ooh, aku juga baru Juz Amma. Sebenernya yang juz 1 juga udah hafal sih, tapi ya kayak kamu mungkin ada yang lupa, hehe” si Nisa mulai ngomong. Haha lucu sekali.

Ternyata benar, saat wawancara aku ditanyai tentang hafalanku, dan juga beberapa pertanyaan lainnya, seperti alasanku masuk SMAIT tersebut. Aku terus terang kalau hanya untuk cadangan.

Setelah test, aku pulang. Ternyata, ada perubahan jadwal test IC. Test masuknya diundur menjadi Juni. Dan pengumumannya sekitar 1 minggu setelah itu. Padahal, batas waktu daftar ulang di SMAIT yang rencananya jadi cadanganku adalah 10 Juni.

Tapi aku tidak jadi memasuki SMAIT karena terlalu optimis akan masuk di IC. Tapi walaupun optimis, aku masih saja tidak belajar keras seperti yang diminta ibuku. 

Test di IC, aku mengalami kesulitan di bagian Matematika dan Bahasa Arab. Seperti saat test di Nur Hidayah, soal bagian Bahasa Arab aku isi B semua. Aku pasrah saja.

Seminggu kemudian, aku sangat menunggu saat ini. Aku takut sekaligus bersemangat. Aku membuka websitenya sejak pagi, tapi ternyata belum bisa dibuka dan baru bisa dibuka saat jam 1.

Setelah menunggu sekian lama dan dengan sangat berdebar-debar. Ternyata aku tidak lolos. Jadi cadangan pun tidak. Aku sangat sedih dan frustasi.

Aku tak kuasa saat memberitahukan ini kepada orang tuaku. Sore itu aku mengunci diri di kamar dan menangis. Cengeng sekali.

Walaupun sudah begini, aku masih saja tak ingin sekolah di kotaku. Aku ngotot dan nekad mencari pesantren lain yang masih buka pendaftaran. Aku menemukan satu di daerah Jawa Timur.

“Hasna, mending kamu di SMA sini aja ya daripada disana. Disana itu beda, bukan seperti perkiraanmu, Na. bukan seperti pesantrennya adikmu” 

“beda apanya sih, Bu? Kayaknya ya sama aja deh” aku membantah ibuku yang tidak menyetujui saat aku minta izin untuk mendaftar di sekolah itu. Tapi aku bandel dan melapor ke ayahku.

Akhirnya, ayahku turun tangan dan membujuk ibukku sampai ibuku akhirnya rela melepasku masuk ke sekolah tersebut. Aku langsung mendaftar dan test.

Test disana 3 hari. Disana ada 2 temanku lain yang juga mendaftar di sekolah tersebut. Pada 3 hari itu, semua keluargaku ikut mengantar. Sebenarnya, aku bisa mencoba tidur di asrama, tapi karena aku belum dapat asrama, jadi aku tidur di hotel.

Ternyata, pesantren disana beda dengan pesantrennya adikku. Adikku yang pertama sudah sekolah di pesantren sejak SMP. Kalau di pesantrennya adikku, sekolah sudah satu paket dengan asramanya, tapi tidak disini. Modelnya seperti kos-kosan tapi berbasis pesantren. Jadi kita bisa memilih mana yang ingin kita tempati.

Karena aku sedang test, yang mencari asrama adalah orangtuaku. Awalnya aku ingin berada di satu asrama yang sama dengan teman SMP-ku, tapi asramanya sudah terlanjur penuh. Jadi aku mendapat tempat di asrama lain.

Setelah test itu, akhirnya aku lolos. Aku sangat bersemangat ketika akan pergi ke pesantren. Aku mempersiapkan segalanya.

Pada saat aku akan masuk asrama dan ditinggal oleh ibuku, rasanya berat sekali. Padahal awalnya aku sangat bersemangat. Tapi aku menguatkan diriku. 

Aku menata tempat tidurku. Aku mendapat ranjang atas. Kamarku berisi 12 orang. Ternyata, yang ada di kamarku bukan dari sekolahku saja, tapi ada yang bersekolah di sekolah lain juga. Malah ada yang SMP. Mereka semua pendiam, tidak ada yang cerewet. Huh aku kesepian, apalagi tidak ada alat komunikasi.

Sehari berada di sana aku mulai mengerti apa yang dimaksud beda dengan ibuku. Aku mulai menyadarinya dan menyesalinya. Hampir setiap kali aku mengingat ibuku, aku selalu ingin menangis, menyesal karena tidak menuruti kata ibuku.

Apalagi dengan kondisi asramaku yang kotor dan kumuh. Sampah berserakan di koridor depan kamar, ditambah lagi becek. Masih mending jika sampahnya adalah sampah kering, sampah yang berserakan itu berair dan sudah busuk. Aku ingin muntah rasanya jika melihatnya atau membayangkannya.

Aku juga tidak bisa mencuci karena tidak ada tempat untuk menjemur. Apalagi saat itu musim hujan, karena aku ada kegiatan MOS, jadi aku tidak bisa selalu memantau jemuranku. Yah, solusinya aku mencucikan bajuku di tempat laundry.

Dan yang lebih parah lagi adalah kamar mandinya. Yang di lantai atas, kamar mandinya tak berpintu, dan hanya ditutup oleh selambu. Itu membuatku jijik dan tidak nyaman. Yang di lantai bawah, hanya ditutup papan. Aku lebih memilih untuk mandi di lantai bawah, walaupun jaraknya lebih jauh.

Sampai hari ketiga aku semakin tidak kerasan berada di sana, selain dengan lingkungannya yang kumuh, aku juga dihantui rasa menyesal yang teramat dalam. Aku juga rindu rumah dan ibuku.

Karena tidak diperbolehkan membawa ponsel, aku harus berjalan jauh untuk menelpon di wartel. Di hari ketiga aku ke wartel dan menelpon ibuku. Karena tidak kuat menahan tangis, tangisku pun pecah di dalam wartel. Rasanya malu sekali. tapi mau bagaimana lagi.

Esoknya, keluargaku dating menjengukku. Aku segera masuk mobil dan menangis.

“Kenapa kak?” ayahku bertanya

“Gak kerasan yah, asramaku itu..” aku pun menceritakan segala detail tentang sekolah baruku itu. 

“yasudah, kalo gak kerasan ayo pulang aja”

“hikss tapi hiks kan udah bayar sekolahnya, Yah” aku sesenggukan

“Yaampun, kak. Kakak gak usah mikirin uang. Uang tuh bisa dicari”

“hiks tapi kan udah terlanjur disini, hiks”

“yah daripada masa 3 tahunmu sedih terus, mending pulang aja, kak”

Aku pun berdebat panjang dengan keluargaku, yang akhirnya aku memutuskan untuk keluar. Hari itu pun aku mengemasi barang-barangku dan keluar.

Di kotaku, aku kelabakan mencari sekolah. Aku sempat berpikir untuk berhenti sekolah untuk sementara, tapi saudara-saudaraku tidak setuju. 

Aku kesana-kemari mencari sekolah yang masih buka pendaftaran. Dan akhirnya aku masuk sekolah ini, yang masih tergolong kategori faforit di kotaku. Sebenarnya sudah telat daftar, tapi karena ada yang keluar, jadi aku bisa masuk.

Tapi setelah aku merenungi semua, aku masih beruntung dapat sekolah. Jadi, aku hanya perlu bersyukur saja. Karena bersyukur dan ikhlas itu adalah syarat hati yang damai. Tak sengaja aku tersenyum. Aku tahu, ini semua rencana Tuhan yang terbaik untukku. Tidak ada alawan untukku untuk bersedih. Senyumku semakin lebar.


“wooy, Hasna jangan senyum senyum sendiri gitu dong! Udah bel tuh” Lisa mengagetkan renunganku.

“haha, iya. Ayok ke kantin” aku pun tersenyum lebar. Hatiku rasanya plong karena sudah ikhlas menerima takdirku.



4 September 2013


Comments

Popular Posts